Fokus pada tujuan sangat penting dalam mendidik anak. Sebab jika demikian kita akan bergerak menuju arah yang benar. Fokus orang tua teladan tentunya adalah mendidik anak menjadi lebih baik, salih dan memiliki karakter positif. Kami yakin tidak ada perbedaan pendapat di antara para orang tua dalam poin ini.
Namun realitanya, banyak orang tua yang prakteknya justru lebih fokus kepada hal-hal negatif yang ada dalam diri anak. Misalnya lebih fokus pada perilaku buruk anak, bukan perilaku baiknya. Lebih fokus pada kekurangan anak, bukan kelebihannya. Lebih fokus pada masalah, bukan solusi. Lebih fokus pada penyebab kegagalan, bukan pada hasil yang ingin dicapai.
Walaupun tujuannya baik. Yakni ingin anak memperbaiki diri. Namun karena caranya keliru dan porsi fokusnya tidak ideal, justru malah berakibat buruk.
Fokus pada Perilaku Baik, Bukan Perilaku Buruk
Orang tua tanpa sadar sering membuat masalah. Perilaku anak semakin buruk, karena orang tua memberikan perhatian yang terlalu sedikit pada perilaku baik. Selalu cepat beraksi dan mengkritik perilaku buruk. Atau, terlalu longgar tentang aturan dan tidak mengamati anak-anak dengan baik. Situasi ini sering terjadi jika orang tua sedang depresi, lelah atau kewalahan.
Orang tua sangat mudah mengabaikan anak ketika mereka sedang berperilaku baik. Dan hanya memperhatikan mereka saat berbuat buruk. Cara mendidik seperti ini memiliki banyak dampak negatif. Di antaranya:
Pertama: Anak semakin meningkatkan volume kenakalannya
Sejalan waktu, anak belajar bahwa mereka mendapatkan perhatian hanya saat melanggar aturan. Rata-rata anak, termasuk remaja, membutuhkan banyak perhatian dari orang tua dan akan berusaha mendapatkannya dengan segala cara. Barangkali, yang mengejutkan adalah anak-anak lebih memilih dimarahi atau disalahkan ketimbang diabaikan atau dicuekin.
Kedua: Barometer kebaikan dan keburukan menjadi buram di mata anak
Saat anak melakukan kebaikan, lalu tidak mendapatkan apresiasi, dia bertanya-tanya apakah yang dilakukannya ini baik atau buruk. Itu bisa berakibat dia tidak bisa membedakan antara hal baik dan buruk.
Sumber Masalah
Pola pendidikan anak seperti di atas, biasanya bersumber dari anggapan bahwa perilaku baik anak adalah hal biasa. Sehingga tidak perlu dihargai. Padahal dalam agama, kita sudah dilatih untuk mengapresiasi kebaikan. Contohnya hadits berikut,
“وَمَنْ صَنَعَ إِلَيْكُمْ مَعْرُوفًا فَكَافِئُوهُ، فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا مَا تُكَافِئُونَهُ، فَادْعُوا لَهُ حَتَّى تَرَوْا أَنَّكُمْ قَدْ كَافَأْتُمُوهُ”
“Barang siapa berbuat baik kepadamu, maka balaslah kebaikan tersebut. Bila engkau tidak memiliki sesuatu untuk membalasnya, maka doakanlah ia. Hingga engkau perkirakan sudah sepadan dengan kebaikannya”. HR. Abu Dawud dari Ibn Umar radhiyallahu ‘anhuma. Hadits ini dinilai sahih oleh Ibn Hibban dan al-Albaniy.
Pencegahan Lebih Baik Dibanding Pengobatan
Tidak boleh dipahami dari keterangan di atas bahwa perilaku buruk anak dibiarkan saja. Karena hal itu berpotensi mengabaikan ibadah amar makruf-nahi munkar.
Namun, ingat bahwa kita harus proporsional dalam beramar makruf, alias mengajak kepada kebaikan, dan bernahi munkar, alias melarang kemungkaran. Mengapa kita tidak berpikir untuk mengingatkan anak sebelum melakukan kesalahan? Bukan hanya mengingatkannya sesudah melakukan kesalahan.
Padahal mengingatkan anak sebelum melakukan kesalahan, memiliki keunggulan dibanding sesudahnya. Sebab saat itu kondisi psikologis ana sedang stabil. Sehingga relatif lebih mudah menerima nasehat. Berbeda halnya dengan setelah melakukan kesalahan. Psikis anak sedang labil. Dia merasa bersalah, takut dan minder. Suasana hati yang tidak enak ini bakal berpengaruh terhadap penerimaannya kepada nasehat.
Maka fokuslah dalam meningkatkan perilaku baik anak, tanpa mengabaikan perilaku buruknya!
Disarikan oleh Abdullah Zaen dari buku Yuk, Jadi Orang Tua Shalih, karya Ihsan B. (hal. 110-111) dengan banyak tambahan.
Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 26 Dzulqa’dah 1440 / 29 Juli 2019